Mengapa Komunikasi Pada Anak Digital Native Menjadi Perhatian Kami

 


MENGAPA KOMUNIKASI PADA ANAK
DIGITAL NATIVE MENJADI PERHATIAN KAMI

Mengapa komunikasi pada anak digital native menjadi perhatian kami, empat orang ibu member Tim Kaizen, mahasiswi Bunda Salihah
Batch 1 Institut Ibu Profesional (IIP).

FAKTA YANG DIHADAPI SEHARI-HARI

Cerita 1:

"Kak, sudah mau azan tuh, ke masjid gih..."
"Hmm, iya, Nda" Fikri bergerak lamban.
Padahal tadi udah mau berangkat ke masjid, karena pegang HP baca pesan singkat dari teman, dikira Bunda main games kali ya, lagian Bunda masih nyuruh lagi, kan udah siap-siap nih, kok mendadak jadi berat ya, ke masjidnya.

Cerita 2:

"Wah, masih banyak kolom jawaban yang kosong, nih, Dek... udahan dulu nonton Youtube-nya..."

"Iya, Nda... kan emang mau diselesaikan semuanya, Bunda kok khawatir gitu... tenang aja deh."

Cerita 3:

"Kenapa ya bundaku kayak maksain semua-mua mesti diceritain. Kadang akunya pingin woles ajah, gitu." curhat Rania ke sahabat sekolah daringnya via aplikasi obrolan.

***

Cerita di atas mungkin terasa familier di keseharian kita. Bahkan tak jarang komentar dengan istilah-istilah ajaib kerap terlontar dari anak-anak tercinta.

Sebutan-sebutan yang biasa ber-sliweran di linimasa media sosial zaman sekarang. Baik yang dipopulerkan pemengaruh (influencer), public figure, maupun di kalangan teman-teman anak sendiri.

Orang tua, yang hidupnya berkutat dengan pekerjaan keseharian, mengurus rumah tangga, berinteraksi dengan orang-orang yang sama, sebagai karyawan, sebagai ayah/bunda, memiliki alasan yang logis ketika ia kurang up to date dengan istilah-istilah yang akrab di telinga anak-anaknya.

Di satu sisi, anak ingin orang tuanya asyik diajak ngobrol. Senyaman kalau bercakap-cakap dengan sahabatnya yang terpisah jarak karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Jika mempertahankan egoisme masing-masing, yaitu bunda kekeuh dengan pendapatnya. Bahwa anak mestinya memahami kesibukan orang tua dan gaya berbahasa dengan yang lebih tua itu harus sesuai norma yang berlaku.

Sementara anak tetap ingin bundanya mengerti dia dengan segala keinginannya, inilah yang menjadi masalah dalam berkomunikasi antara orang tua dan anak. Yang jika tidak diselesaikan akan berlarut-larut dan menjadi bom waktu, membawa problem yang lebih besar lagi.

Orang tua pernah menjadi anak-anak, sedangkan anak belum berpengalaman menjadi orang tua. Maka sudah sepantasnyalah orang tua yang terlebih dahulu mengambil sikap untuk menemukan solusi dan akar permasalahan ini.

Sebagai langkah awal, ayah dan bunda harus mengenali dulu sebaik-baiknya tipikal anak digital native.

Siapakah Anak Digital Native?

Digital native adalah istilah untuk generasi yang lahir dan tumbuh berkembang dalam dunia digital, di mana mereka berinteraksi secara teratur dengan teknologi sejak usia dini.

Bisa dibilang, anak-anak yang telah dikelilingi gadget sedari mereka terlahir ke dunia. Buktinya bunda sendiri sudah mendokumentasikan perkembangan anak dari hari ke hari dalam jurnal tumbuh kembangnya. Ada yang mengunggahnya di media sosial, ada pula yang menulisnya dalam blog pribadi.

Dilansir dari blog UB, Andrew mengatakan bahwa ada 7 ciri anak digital native yang membedakannya dari generasi di atasnya, yaitu Generasi Y atau Generasi Milenial.

Sebenarnya Gen Y ini pun disebut juga sebagai digital native generasi pertama, sebab sudah terhubung juga dengan internet dalam kesehariannya, meski tidak dari lahir sebagaimana digital native zaman sekarang.

Berikut Tipikal Anak Digital Native:

  1. Bebas, tidak mau terkekang

  2. Bermain, bukan hanya bekerja

  3. Cepat, enggan menunggu

  4. Mencari, bukan menunggu instruksi

  5. Unggah, bukan hanya unduh

  6. Interaktif, bukan komunikasi searah

  7. Berkolaborasi, bukan hanya berkompetisi

Dari informasi di atas, bunda bisa menentukan cara yang tepat untuk bisa lebih dekat dan melakukan komunikasi produktif dengan anak digital native.

Memahami kaidah-kaidah dalam komunikasi produktif amatlah penting, untuk masuk ke dunia mereka. Bukan berarti bunda menjadi terpengaruh dan larut kembali menjadi menyerupai orang seusia mereka. Namun mencari cara dan memahami kondisi emosional anak digital native, agar komunikasi bisa terjalin sesuai dengan harapan.

Kesimpulan

Komunikasi produktif kepada anak digital native menjadi perhatian kami karena menyadari sepenuhnya betapa pentingnya menjaga hubungan yang nyaman dengan anak digital native.

Tentunya tidak diinginkan jika anak sudah tumbuh dewasa, melakukan komunikasi kontraproduktif, sebagai lawan dari komunikasi produktif.

Sebab telah menjadi kebiasaan yang dibawa anak hingga ia tua kelak. Kita memulai hal ini sejak sekarang, insyaallah implikasi positifnya dapat menjangkau ke masa depan, anak, cucu, dan juga generasi mendatang.

Demikian sharing saya kali ini, nantikan artikel berikutnya ya, sampai jumpa! Baca konten edukatif kami setiap harinya di akun Instagram @timkaizen. Jangan lupa follow dan like-nya ya.

#komunikasi produktif keluarga adaptif

(mi)

Referensi:
https://blog.ub.ac.id/andews/2019/03/03/generasi-digital/https://sites.google.com/view/komunikasiproduktifbersamaanak/home#h.23kotn4hb06t

https://lldikti8.ristekdikti.go.id/2021/01/25/4-jenis-komunikasi-beracun-yang-perlu-anda-hindari-dan-penangkalnya-untuk-membangun-komunikasi-yang-produktif/

Post a Comment